Tahun ini, tepat dua puluh tahun aku menjadi guru honorer. Bukan angka yang singkat. Dua dekade waktu yang cukup panjang untuk mengubah dunia, tapi tidak cukup untuk mengubah hidupku.
Aku memulai langkah ini di tahun 2005. Saat itu, idealisme masih segar, semangat masih menyala. Aku percaya, menjadi guru adalah panggilan jiwa. Tapi siapa sangka, panggilan itu datang tanpa membawa bekal yang cukup untuk hidup.
Gajiku? Hanya lima ratus ribu rupiah. Bahkan ketika harga segala sesuatu naik, angka itu tak pernah ikut menanjak.
Aku tetap berdiri di depan kelas, mengajar dengan hati, meski perut kadang tak terisi.
Kadang aku bertanya pada diri sendiri, "Apakah sampai di sini saja rezekiku?"
Tapi aku terima. Bukan karena aku pasrah. Tapi karena aku lelah melawan sesuatu yang tak pernah benar-benar bisa kuubah sendiri.
Kini, tahun 2025, aku sedang berproses dalam seleksi PPPK paruh waktu. Sebagian hatiku berharap, sebagian lagi takut kecewa.
Tapi aku tetap jalani, walau pelan-pelan. Walau sendirian. Yang membuatku bertahan selama ini, bukan karena aku kuat.
Tapi karena aku punya istri yang jauh lebih kuat dari diriku sendiri. Wanita luar biasa yang tak pernah mengeluh, meski hidup bersamanya tak pernah mudah.
Wanita mana yang sanggup bertahan hidup selama 20 tahun dengan penghasilan suaminya yang cuma 500 ribu sebulan?
Dia tetap tinggal. Tetap setia. Tetap percaya padaku, bahkan saat aku sendiri mulai tak yakin pada diriku sendiri.
Sering aku menangis sendirian.
Di sudut ruangan kecil, atau saat semua orang sudah tertidur.
Bukan karena lemah, tapi karena merasa gagal.
Gagal sebagai suami.
Gagal sebagai anak.
Gagal sebagai laki-laki.
Aku malu pada orang tuaku.
Malu pada mertuaku.
Karena bukan rasa bangga yang bisa kuberikan, tapi justru kerepotan yang tak ada habisnya.
Kami tinggal di gubuk tua milik kakakku.
Rumah kecil yang lebih cocok disebut tempat berteduh sementara.
Setiap malam, aku tidur dengan waswas-takut kalau angin atau hujan terlalu kuat, dan atap itu tak lagi sanggup melindungi kami.
Aku melihat istriku kelelahan setiap hari, tapi tetap berusaha tersenyum. Dan itu yang paling menyakitkan-melihat orang yang kau cintai menderita karena kau belum mampu memberi hidup yang lebih baik.
Di sela malam yang dingin dan gelap, aku hanya bisa berdoa dalam hati:
“Ya Allah, mudahkanlah hamba mencari rezeki-Mu…
Agar aku bisa membahagiakan orang-orang yang menyayangiku…
Berilah hamba rezeki yang cukup, agar kami bisa tidur nyenyak…
Di rumah yang layak…”
Motivasi untuk Diri Sendiri:
Aku tahu, perjalanan ini belum selesai.
Mungkin hasilnya belum terlihat hari ini.
Tapi aku percaya, bahwa setiap tetes air mata, setiap doa yang kupanjatkan dalam diam, dan setiap perjuangan yang tak terlihat oleh mata manusia… tidak akan pernah sia-sia di hadapan Tuhan.
Aku telah jatuh berkali-kali. Tapi aku juga bangkit berkali-kali.
Selama aku masih punya harapan, dan selama istriku masih menggenggam tanganku…
Aku tidak akan berhenti.
Untuk diriku sendiri:
Jangan menyerah.
Mungkin hidup belum memihak, tapi bukan berarti ia tak akan berubah.
Pelan-pelan…Kita akan sampai juga.
Dulu, aku selalu berpikir hidupku sudah tertata rapi. Karier yang menjanjikan, hubungan yang stabil, impian-impian yang siap kuraih. Aku berjalan dengan percaya diri, seolah tak ada yang bisa menggoyahkanku. Namun, hidup punya cara tersendiri untuk menguji keyakinan itu.
Diawali dengan masalah di kantor yang membuatku merasa tak lagi dihargai. Kemudian, hubungan yang kukira akan abadi, perlahan retak dan hancur berkeping-keping. Tak cukup sampai di situ, masalah finansial yang tak terduga muncul, menyeretku ke jurang kecemasan yang dalam. Rasanya seperti ombak besar yang datang bertubi-tubi, menghantamku hingga aku tak bisa lagi bernapas.
Aku ingat betul malam itu. Duduk sendirian di kamar yang gelap, air mata tak henti mengalir. Aku merasa sangat kecil, rapuh, dan yang terpenting: sendirian. Segalanya tampak begitu suram, seolah tak ada cahaya di ujung terowongan. Aku hanya ingin semuanya berhenti. Aku bahkan tak tahu harus mulai dari mana.
Di titik terendah itulah, sebuah bisikan kecil muncul. Bisikan yang mengatakan, "Kamu tidak bisa terus seperti ini."Aku tahu itu benar. Jadi, dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, aku memutuskan untuk bangkit. Bukan bangkit dengan berlari, tapi bangkit dengan langkah-langkah kecil, terseok-seok.
Langkah pertama yang kulakukan? Menenangkan Diri. Aku mematikan semua notifikasi, mencari tempat hening di taman dekat rumah. Aku duduk di bangku tua di bawah pohon rindang, hanya mendengarkan suara angin dan kicauan burung. Aku tidak berusaha memikirkan solusi, hanya bernapas. Mengondisikan hati yang gundah, membiarkannya perlahan menemukan ritmenya. Ajaibnya, dalam keheningan itu, pikiran mulai terasa sedikit lebih jernih.
Kemudian, aku mencoba menemukan Akar Masalah. Aku mengambil pena dan kertas, lalu menuliskan semua hal yang membebaniku. Bukan hanya gejalanya, tapi aku mencoba menggali lebih dalam, "Kenapa ini terjadi? Apa yang sebenarnya menjadi pemicu?" Aku bahkan mencoba melihat situasiku dari sudut pandang temanku—apa yang akan dia lakukan jika di posisiku? Perspektif baru ini membuka mataku. Aku menyadari, sebagian masalah ini muncul karena caraku bereaksi, bukan hanya karena masalah itu sendiri.
Di sinilah aku menyadari pentingnya mencari Dukungan. Aku menelepon sahabat lamaku, yang sudah seperti saudara. Dengan suara bergetar, aku menceritakan semuanya. Dia tidak memberiku solusi instan, tapi dia mendengarkan. Dia memvalidasi perasaanku. Pelukan virtualnya memberiku kekuatan. Aku juga memberanikan diri berkonsultasi dengan seorang konselor untuk masalah finansial dan emosional. Aku belajar bahwa meminta bantuan bukan tanda kelemahan, melainkan keberanian yang luar biasa. Berbagi beban tidak mengurangi masalah, tapi mengurangi beratnya masalah di pundakku.
Perlahan, aku mulai belajar mengelola Pikiran dan Emosi. Aku tahu, terjebak dalam pikiran negatif hanya akan menyeretku kembali ke lubang. Aku mulai melatih diri untuk berpikir positif, sekecil apapun itu. "Hari ini aku berhasil bangun." "Hari ini aku berhasil makan." Setiap kemenangan kecil adalah api yang menyala. Aku juga belajar untuk tidak menyalahkan diri sendiri secara berlebihan. Evaluasi diri itu perlu, tapi hukuman diri itu merusak. Aku bukan kegagalanku; aku adalah proses belajarku.
Dan akhirnya, aku menerima dan belajar dari setiap masalah. Aku menyadari bahwa hidup ini memang tak selalu berjalan sesuai rencana. Ada banyak hal di luar kendaliku. Menerima kenyataan pahit itu adalah pembebasan. Aku mulai melihat setiap badai bukan sebagai akhir, melainkan sebagai sebuah ujian, sebuah pelajaran berharga. Setiap air mata, setiap malam tanpa tidur, membentukku menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih tangguh, dan lebih bijaksana. Aku belajar tentang resiliensi, tentang ketabahan, dan tentang kapasitas diriku yang tak terbatas untuk bangkit.
Hari ini, aku tidak mengatakan semua masalahku lenyap. Tidak. Tapi caraku menghadapinya sudah sangat berbeda. Aku tahu, badai akan datang lagi. Tapi sekarang, aku punya bekal. Aku tahu bagaimana menenangkan diri, bagaimana mencari akar masalah, bagaimana mencari dukungan, bagaimana mengelola pikiranku, dan yang terpenting, bagaimana menerima dan belajar dari setiap tantangan.
Jadi, jika saat ini Anda merasa sendirian di tengah badai, ingatlah kisahku.
Anda tidak selemah yang Anda kira. Anda tidak sendirian. Badai itu tidak akan bertahan selamanya. Yang penting adalah bagaimana Anda memilih untuk menghadapinya. Tenangkan diri, temukan intinya, cari dukungan, kendalikan pikiran Anda, dan terimalah bahwa setiap badai adalah kesempatan emas untuk tumbuh.
Itu bukan satu atau dua pemikiran, itu gelombang yang menyerbu satu per satu: merasa sendiri, merasa gagal, merasa kurang beruntung. Di lingkaran kepalaku, kalimat-kalimat kecil itu berkali-kali mengulang seperti piring retak yang diputar-putar. Dunia seakan tak berpihak; teman yang dulu bercanda sekarang menunduk; kesempatan yang kulihat dari jauh lenyap begitu saja. Aku tak tahu harus melakukan apa. Aku terpuruk.
Tapi di titik paling rendah, sesuatu yang aneh terjadi: aku mulai mengamati. Bukan karena aku ingin bangkit, lebih karena aku bosan dengan kesedihan itu sendiri. Aku mulai menuliskan hal-hal kecil yang kurasakan. Beberapa aku sembunyikan, beberapa aku tulis dengan diam-diam di ponsel:
Aku merasa selalu merepotkan orang lain.
Aku merasa tidak dihargai karena miskin.
Aku merasa orang lain lebih beruntung, lebih pantas, lebih... semuanya.
Tulisan-tulisan itu seperti jejak kaki di pasir. Ketika ombak datang, jejak bisa hilang, tapi aku melihat bahwa jejak itu menunjukkan satu hal: aku masih bergerak. Aku masih bernafas.
Di pagi yang lain, aku memutuskan melakukan satu hal kecil: berjalan ke warung dekat rumah, bukan karena butuh, tapi untuk melihat siapa yang ada di sana. Aku berbicara pada penjual bakso tentang hujan semalam. Ibu penjual itu menatapku dan tersenyum seperti memberi izin: “Anak muda, jangan kau pikir hidupmu hanya soal berat di dada. Hidup memang berat, tapi lumayan kalau dicicil.” Satu kalimat sederhana. Bukan solusi instan. Tapi cukup untuk membuat sesuatu di dalam tertarik: mungkin ada cara lain untuk menata ulang harapan.
Lambat, bukan kilat.
Aku mulai menukar kalimat “aku gagal” dengan pertanyaan: “Gagal dalam apa? Dan apa satu langkah kecil yang bisa kulakukan besok?”
Dari yang semula parah, aku belajar memecah masalah: ekonomi terasa susah? Baik, aku coba jualan kecil-kecilan, belajar skill gratis lewat video, atau menawarkan jasa yang bisa kulakukan dari rumah. Dunia tidak berpihak? Mungkin, tapi aku tidak wajib menunggu pihak lain untuk berbaik hati. Aku bisa mencari celah.
Tentu tidak mudah. Banyak hari aku tergelincir lagi. Ada komentar pedas, ada hitungan di rekening yang tak tertutup, ada rasa malu ketika diundang reuni tapi tak mampu membeli kado. Namun, setiap kali aku kembali pada daftar kecil itu, menuliskan satu simpul kebaikan yang kutemukan hari itu, gunung itu terasa sedikit merenggang. Satu simpul: obrolan singkat yang membuatku belajar sesuatu. Dua simpul: satu pelanggan kecil. Tiga simpul: ada orang yang menghargai usahaku, meski itu hanya “terima kasih”.
Yang paling penting: aku mulai memisahkan “aku” dari “kegagalan”.
Aku bukan kegagalan yang berkumpul di badanku. Aku cuma manusia yang sedang mempelajari soal hidup. Hidup bukan lomba siapa paling berhasil, melainkan tentang siapa yang terus berdiri ketika terpeleset. Dan berdiri bisa berarti bangun 5 menit lebih awal, membaca satu artikel, mengirimkan satu pesan penawaran, atau membuat satu piring mie untuk diri sendiri tanpa menangis.
Ada momen kecil yang mengubah cara pandangku: ketika seorang tetangga, yang kubilang lebih beruntung dariku, meminjam beberapa buku dariku. Ia bilang, “Buku-bukumu membantu aku juga.” Aku terkejut. Ternyata hal yang kupikir tak ada nilainya, justru berguna bagi orang lain. Nilai itu tidak selalu dalam bentuk uang. Kadang ia dalam bentuk waktu, perhatian, atau kemampuan sederhana yang kita anggap remeh.
Hari demi hari, dunia yang semula terasa sempit berubah jadi beberapa jendela kecil. Jendela yang kubuka perlahan, satu untuk kemampuan baru, satu untuk relasi, satu untuk kebiasaan kecil. Ada hari yang mendung, ada yang cerah, tapi kini aku tahu: bahkan jendela kecil kalau dibuka tiap hari akan membuat rumah terasa lebih luas.
Jika kamu sedang membaca ini dan merasakan hal yang sama, merasa paling gagal, paling tidak beruntung, paling menyedihkan, izinkan aku berbagi dua hal sederhana yang menolongku:
- Tuliskan satu hal kecil setiap hari. Bukan untuk menunjukkan pada orang, tapi untuk melihat jejak. Jejak itu akan memberitahumu kalau kamu sebenarnya bergerak.
- Lakukan satu tindakan kecil setiap minggu. Kirim satu pesan, pelajari satu hal baru selama 30 menit, atau bantu seseorang tanpa berharap balasan. Tindakan kecil membuka peluang.
Akhir cerita? Tidak ada akhir tetap. Ada proses. Ada bab baru yang tak pernah kusangka. Sekarang, ketika gelombang kesepian datang, aku tidak lagi panik. Aku duduk, menulis, dan memilih satu hal kecil untuk dilakukan. Kadang berhasil, kadang tidak, tapi setidaknya aku terus mencoba.
Kalau kau merasa dunia tak berpihak, cobalah lihat sekeliling; mungkin ada satu orang yang diam-diam menunggu engkau berbuat sesuatu. Mungkin itu bukan untuk membuatmu kaya, tapi cukup untuk membuatmu merasa dihargai. Dan dihargai itu batu pertama untuk membangun lagi sesuatu yang lebih besar.
Tinggalkan jejakmu hari ini:
tulis satu baris di kolom komentar, satu hal kecil yang ingin kau lakukan besok. Kita mulai bersama, langkah demi langkah. Jangan biarkan dirimu menjadi judul tragedi; jadikan dirimu bab keberanian yang belum selesai ditulis.
Untuk setiap orang yang pernah merasa "paling gagal", aku melihatmu. Kamu tidak sendirian.
Umas
9/24/2025
CB Blogger
IndonesiaSejak kecil, saya punya rasa ingin tahu yang besar pada hal-hal baru. Teknologi selalu membuat saya penasaran, dan saya tak pernah bosan belajar. Dari situlah kemampuan saya berkembang, hingga tanpa sadar, saya lebih memahami IT dibanding teman-teman seprofesi saya.
Karena itu, saya dipercaya menjadi operator sekolah. Tugas yang tampak sederhana, namun ternyata sangat menentukan. Semua data, semua laporan, bahkan maju mundurnya sekolah, sebagian besar ada di tangan seorang operator. Tanggung jawab itu besar, lebih besar dari yang orang lain kira.
Saya berusaha menjalani amanah itu dengan sebaik mungkin. Saya membantu teman-teman seprofesi, membimbing mereka agar bisa meningkatkan karier. Tapi ironisnya, peran saya jarang dihargai. Bahkan, mereka yang saya bantu justru melaju lebih cepat, sementara saya tertinggal, penuh dengan hambatan dan kegagalan.
Saya berjuang demi keluarga, berusaha memperbaiki ekonomi, mencoba menembus jalan menjadi ASN. Namun, lagi-lagi, jalan itu terasa buntu. Aneh, orang yang kurang bertanggung jawab malah lebih mudah meraih jabatan, sedangkan saya yang jatuh bangun justru sering terpuruk.
Pernah, saya merasa dunia ini tidak adil. Saya ingin menyerah. Saya mencoba keluar dari bidang pendidikan, melamar ke banyak perusahaan. Tapi satu demi satu pintu tertutup. Tidak ada yang menerima saya. Setiap kali gagal, rasa putus asa itu semakin menghantam.
Namun saya bertahan. Saya bersabar, meski tidak tahu sampai kapan harus bersabar. Saya sudah mengabdi 21 tahun di dunia pendidikan, dan kini saya sedang berproses menjadi PPPK paruh waktu. Mungkin inilah bentuk kesetiaan saya pada bidang yang sudah membesarkan saya.
Saya percaya, perjuangan dan kesabaran tidak akan sia-sia. Cepat atau lambat, akan ada jawaban indah di ujung jalan ini. Selama itu belum tiba, saya akan terus melangkah, meski dengan tertatih. Karena bagi saya, menyerah bukan pilihan.
Pernahkah kalian merasa perjuangan kalian tidak sebanding dengan hasil yang didapat? Bagaimana kalian melewatinya?
Umas
9/23/2025
CB Blogger
IndonesiaSejak kecil, saya punya ketertarikan sederhana: saya suka melihat pria berpenampilan rapi memakai jas.Di mata saya, jas bukan sekadar pakaian, melainkan simbol keberhasilan, kerapian, dan kehidupan mapan.
Dari situlah lahir sebuah cita-cita saya ingin menjadi seorang pegawai kantoran. Dengan tekad itu, saya melanjutkan sekolah ke SMA yang terletak di Kecamatan Cikalongkulon meskipun kondisi keluarga sederhana dan orang tua tidak punya cukup biaya. Saya percaya bahwa pendidikan adalah jalan menuju mimpi saya.
Tahun 2004, saya lulus SMA. Saat itu, ada tawaran untuk mengajar di sekolah tempat saya dulu menempuh pendidikan Sekolah Dasar, sekolah di kampung kelahiran saya yang sedang kekurangan guru. Namun saya menolak. Bagi saya, mengajar bukan jalan yang saya inginkan. Saya tetap berpegang pada cita-cita menjadi pegawai kantoran.
Saya pun merantau ke Jakarta. Namun, kehidupan di sana jauh dari bayangan indah yang saya pikirkan. Bukannya duduk di balik meja kantor dengan jas rapi, saya justru harus bekerja keras sebagai kuli bangunan, perajin boks speaker aktif, hingga salesman. Pekerjaan itu membuat saya sering sakit-sakitan, sampai akhirnya terpaksa pulang kampung untuk berobat.
Saat menjalani masa pemulihan, saya kembali ditawari untuk mengajar, kali ini dengan syarat: “Kalau nanti tidak betah, boleh berhenti.” Saya mencoba menerima. Bahkan saya sempat kuliah di Universitas Terbuka, tetapi berhenti di tengah jalan karena biaya kuliah terlalu berat, sementara gaji honorer sangat kecil.
Perjalanan hidup terus berlanjut. Saya menikah, punya keluarga, dan harus berjuang lebih keras. Saat anak kedua saya sakit dan butuh biaya pengobatan, saya memutuskan keluar dari sekolah tempat mengajar dan bekerja di outlet elpiji. Setelah pengobatan selesai, saya pulang kampung. Hati saya ingin tenang, melupakan pahitnya pengalaman bolak-balik rumah sakit di Bandung.
Namun, hidup di kampung pun tidak mudah. Saya menganggur, melamar pekerjaan ke berbagai tempat, tapi tak ada yang menerima. Bahkan saya sempat masuk hutan mencari laja untuk dijual, tapi penghasilan tetap tidak ada.
Akhirnya, saya kembali masuk ke dunia sekolah. Ada secercah harapan baru ketika mendengar kabar bahwa pemerintah akan melakukan pengangkatan guru di tahun 2024. Demi peluang itu, saya memberanikan diri melanjutkan kuliah lagi. Meski harus berutang ke sana-sini, saya jalani semuanya. Dengan tekad kuat, saya mengambil dua semester sekaligus hingga akhirnya berhasil menyelesaikan S1.
Sayangnya, ijazah S1 saya belum keluar ketika tes PPPK Guru dibuka. Saya terpaksa ikut tes dengan ijazah SMA. Formasi yang tersedia hanya tiga orang, saingannya banyak, dan mayoritas dari kategori 2. Hasilnya, saya tidak lulus.
Kenyataan itu sangat pahit. Orang lain merayakan kelulusan, sementara saya harus menerima kegagalan. Lebih menyakitkan lagi, warga sekampung menjadikan saya bahan olok-olokan. Kata-kata mereka menusuk, membuat saya merasa kecil, malu, dan tidak berharga.
Saya mulai menjauh dari teman-teman. Saya merasa tak pantas bergaul, lebih memilih menyendiri, dan semakin terpuruk. Hidup terasa gelap.
Namun, di tengah keterpurukan itu, ada suara kecil dalam hati saya yang berkata: “Kalau terus begini, kamu tidak akan pernah maju. Hidup harus tetap dilanjutkan, meski berat.” Pelan-pelan, saya mencoba bangkit.
Saya belajar menerima kenyataan bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya. Olok-olokan orang bukan penentu masa depan saya. Saya mulai menata ulang langkah, menguatkan diri, dan percaya bahwa masih ada jalan yang bisa saya tempuh.
Memang, bangkit dari keterpurukan bukan perkara mudah. Luka di hati tidak hilang seketika. Tapi setiap kali saya teringat cemoohan itu, saya jadikan bahan bakar untuk terus berusaha.
Saya mungkin pernah jatuh, bahkan sangat dalam. Tapi saya percaya, setiap kejatuhan adalah kesempatan untuk belajar berdiri dengan lebih kuat.
Kali ini saya sama dengan teman-teman sedang berproses PPPK Paruh waktu. Semoga kita dilancarkan.
Bagi siapa pun yang membaca kisah ini, saya ingin berpesan: jangan pernah menyerah hanya karena gagal sekali, atau karena orang lain meremehkanmu. Kegagalan bukanlah akhir, dan olok-olokan bukanlah kebenaran. Yang terpenting adalah keberanian untuk bangkit, meski harus tertatih.
Cerita saya belum selesai. Jalan hidup ini masih panjang, dan saya akan terus melangkah. Karena pada akhirnya, keberhasilan sejati bukan sekadar tentang pekerjaan atau status, melainkan tentang keberanian untuk tetap berdiri ketika dunia berusaha menjatuhkanmu.
Dan kisah ini… masih bersambung.
Suka Sekejap Berganti Duka -Ternyata suka dan duka adalah dua sisi yang saling berdekatan, Perasaan suka berganti duka terjadi begitu cepat, itulah keadaan yang kali ini dirasakan olehku keluargaku dan orang-orang terdekatku.
Musibah datang hanya berselang hitungan hari setelah kami merasakan kebahagiaan yang dirasakan, seketika berubah menjadi duka yang
berkepanjangan, bagaimana tidak anakku dinyatakan menderita Colostomy dan
harus menjalani tiga kali operasi yang berbahaya.
Dengan tidak memberi waktu lama tindakan itu harus
dilakukan kali ini juga, setelah berat badannya tujuh kilogram dan dua minggu
setelah operasi kedua, sedangkan usianya baru menginjak dua puluh lima hari, usia yang
terlalu muda untuk menjalani sebuah operasi dan merasakan sakit yang
ditimbulkannya, artinya setiap hari aku dan keluargaku harus menyaksikan
penderitaan anakku menahan rasa sakit yang teramat sangat akibat Operasi
yang dijalaninya, tapi apa mau dikata kami semua menginginkan yang terbaik
untuk anakku.
M. PUTRA PRAMUDHITA SEBELUM OPERASI
Selain harus menyaksikan penderitaan anakku yang merasakan rasa sakit
setiap hari, aku juga harus menghadapi biaya operasi yang begitu besar,
sementara penghasilanku sebagai Guru Honorer tidaklah seberapa, aku hanya
bisa berdo’a dan berharap Allah memberikan jalan yang mudah, Ya Allah
darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu untuk membiayai operasi anaku?
Inilah kisahku.
M. PUTRA PRAMUDHITA PASCA OPERASI PERTAMA
Ternyata.... Allah berkehendak lain, kebahagiaanku tidaklah bertahan lama,
berselang empat hari lamanya mulai ada sesuatu yang tidak biasa terjadi,
anakku rewel dan selalu terbangun dari tidurnya, nafasnya tersengal sengal
dan selalu ngeden seperti yang akan BAB, mukanya memerah seakan-akan
menahan rasa sakit yang teramat sangat, semua itu terjadi sampai beberapa
kali dalam semalam.
M. PUTRA PRAMUDHITA KAMBUH SETELAH OPERASI PERTAMA
Keesokan harinya aku konsultasikan kejadian malam itu pada Bidan Desa dan
Dukun Beranak (Paraji), berdasarkan pemeriksaan mereka tidak ada
tanda-tanda jika anakku menderita sakit, anakku hanya mengalami perut
kembung biasa yang sudah umum terjadi pada bayi yang baru dilahirkan, aku
merasa heran bercampur lega, segera kuceritakan kabar baik ini pada istri
dan keluargaku yang menanti kabarnya dirumah dengan cemas.
Meski berdasarkan pemeriksaan tidak ada tanda-tanda jika anakku menderita
sakit, tetapi hampir disetiap malam kejadian yang sama selalu terjadi,
selalu saja aku biarkan dan puncaknya terjadi pada hari yang kesepuluh,
anakku menangis dengan keras dan susah sekali didiamkan, selain itu ada
sesuatu yang mengganjal dihatiku, perut anakku membesar sedangkan BAB dan
Pipis normal seperti biasanya.
Pada hari kedua puluh aku ikuti saran teman-temanku untuk memeriksakan
keadaan anakku pada Dokter Specialis anak, sesampainnya disana Dokter
dengan tidak menyentuh anakku sama sekali menyatakan jika anakku menderita
penyempitan usus dan harus di Oprasi sebanyak tiga kali, bagai disambar
petir disiang bolong perasaanku pada saat itu, istriku nyaris pingsan dan
menangis sejadi-jadinya, segera kutinggalkan ruangan itu dengan perasaan
tak menentu, kakipun tak berasa menginjak tanah.
Ditengah perjalanan pulang tiba-tiba Hand Phoneku bordering dan ternyata
kakakku yang menelpon menanyakan kabar anakku, segera kuceritakan kabar
buruk itu kepadanya, seketika itu juga terdengar tangisan dari kakakku,
disela-sela isak tangisnya dia berkata nyaris tidak kedengaran menyuruhku
pergi kerumahnya di Bandung untuk memeriksanya lebih lanjut, segera kuputar
balik dan menuju kebandung tanpa terlebih dahulu memberitahukan kabar buruk
ini pada keluargaku dirumah, dengan harapan jika hasil pemeriksaannya
disana akan berbeda.
Sesampainya di Kota Bandung aku perhatikan perut anakku semakin besar dan
kini terdapat benjolan-benjolan memanjang dari atas kebawah, sementara
anakku terus menangis karena perutnya mungkin lapar tetapi tidak bisa minum
ASI sama sekali, secepatnya kubawa anakku ke Dokter Specialis anak untuk
memeriksanya, Dokter tidak bisa menyimpulkan penyakit anakku sebelum
melakukan Rontgen Radiologi untuk melihat masalah apa yang terjadi pada usus
anakku.
Keesokan harinya kami bawa hasil rontgen untuk diperiksa oleh Dokter
Specialis anak, ternyata dokter melihat jika didalam usus anakku terdapat
gelembung-gelembung udara yang membuat usus anakku terisi penuh sehingga
tidak bisa lagi menampung apapun yang masuk kedalamnya, Dokter menganjurkan
untuk berkonsultasi dengan Dokter Bedah anak apakah harus dilakukan
tindakan operasi atau ada alternative lain.
Sepulangnya dari Dokter kami langsung menuju RS ternama dikota Bandung dan
setelah membuat janji segera kukonsultasikan keadaan anakku pada Dokter
bedah anak, ternyata memang anakku harus dilakukan tindakan Oprasi pada
saat itu juga....Bersambung.
M. PUTRA PRAMUDHITA BEBERAPA BULAN SETELAH OPERASI PERTAMA
Umas
10/19/2017
CB Blogger
Indonesia
M. PUTRA PRAMUDHITA & SANG BUNDA SETELAH MEMERIKSA KESEHATAN UNTUK PERSIAPAN OPERASI KEDUA